Cinta?
Perasaan?
Dari judulnya saja sudah kelihatan?
Sepertinya kali ini kalian salah sangka dengan saya hahhaha
Dari jaman sekolah ada yang pernah menasihati saya dengan
terus menerus selain orangtua yaitu sosok guru yang tidak bosan mendengar
celotehan atau komentar saya untuk suatu hal atau kejadian yang menurut saya
tidak masuk diakal. Problem kesekian yang saya alami di jaman kuliah (ambil
yang terdekat) saya lahir di Tangerang, kuliah di Malang menghadapi suatu
kebudayaan dan bahasa yang sangat berbeda. Kebetulan di awal kuliah saya biasa
naik angkutan umum. Ada siswi yang baru saja turun dari angkutan umum yang saya
naiki, kemudian supir di depan curhat dengan penumpang yang berada di
sampingnya, “arek iku sering ngasih
uangnya kurang mas, arek Jakarta ngono lah”.
What? Dalam hati gondok, gak semua kali Pak kaya gitu. Oke disave
dulu.
Masuk problem yang selanjutnya.
Ketika saya berinteraksi dengan teman di kelas, mereka masih
belum bisa menerima saya, katanya sih saya ngomongnya alay, ahhaha aneh-aneh
saja. Tapi akhirnya mereka suka mengikuti nada dan kalimat-kalimat yang keluar
dari pembicaraan saya. Hahhah suwuun gaaeess.
Itu masih masalah kecil, yang besarnya.
Ketika saya mengubah penampilan yang biasa mereka sebut
menjadi ukhti-ukhti, banyaklah
cibiran eh Rully masuk HMI, masuk PMII,
masuk MHTI makanya sekarang dia berubah jadi ukhti. Sakit gak? Wah cobaan banget tuh buat saya, maklum saya
sudah diketahui anak politik kampus yang kerjanya sibuk, rapat sampe malem tapi
gak menghasilkan duit. Nah, ini juga cibiran yang konyol bukan?
Terus saya menanggapi semuanya? Yah, pura-pura kagak tau aja
lah ya. Tapi ya dulu jalaninnya nyesek juga. Akhirnya saya curhat dengan guru
sewaktu disekolah, beliau menjawab.
“Rul besarkan jiwa memaklumi mu. Kita tidak bisa mengubah
pemikiran orang yang harus sama dengan pemikiran kita. Memang pemikirannya
sudah stuck disana, mau kita tinggikan
lagi pemikirannya dia hanya menampungnya sampai sana, kita bisa apa? Besarkan JIWA MEMAKLUMImu saja ya.”
Maklum kepada orang lain. Kita yang lebih tau dan berilmu, hanya
bisa memaklumi saja. Tapi menurtku tidak hanya sampai disitu. Kita harus lebih
menghargai suatu perbedaan dan jangan membenarkan semua yang kita katakan itu
benar, tetaplah berdemokrasi, musyawarah, dan meminta pendapat atau solusi.
Seperti halnya saya pernah bertanya kebeberapa teman saya
mengenai buku yang ia rasa menarik untuk dibaca dengan versi masing-masing, buku
bertema MOVE ON atau PERBEDAAN. Kebanyakan dari mereka menjawab mengenai
perbedaan.
Penjawab pertama ia bilang MOVE ON, “move on menurut gue bukan
hanya penyoal cinta li, bisa dengan suatu kehidupan sosial kita. Misal, untuk
mengatasi malas itu bagaimana? Nah karena gue malas dan gue pengen gak malas,
gue baca deh buku move on dari malas”.
Penjawab ke dua, ia jawab lebih suka buku mengenai perbedaan,
“lebih ke prinsip hidup, semua orang bisa move on tapi tidak semua orang bisa
menyikapi dengan bijak. Versi bijak disini bahwa semua manusia itu subyek. Manusia
bijak selalu memposisikan manusia lain sebagai subyek. Memahami manusia sebagai
manusia, toleransi perdamaian. Move on dan perbedaan itu bisa dikaitkan, gak
ada yang gak mungkin kan? Misal aku masih lajang punya uang. Aku pasti milih
beli mobil yang keren, enak dilihat, dan seatnya dua, buat aku sama gebetanku. Kemudian
aku menikah punya anak, aku lebih memilih mobil yang punya seat lebih banyak. Soalnya
dua seat sudah gak muat lagi. Aku move kan?. Aku move karena perbedaan
orientasi, orientasi praktis dengan pertimbangan kebutuhan. Jadi ya, perbedaan
bisa jadi alasana untuk move on, menghormati dengan menunda menghakimi, tunda
terus dan tunda terus.
Nice sekali kan guys jawabanya?
So kamu masih bakalan ngomentarin mengenai perbedaan? Sudahlah
urus saja aktivitasmu dengan baik. Jadinya move on deh, yang tadi suka komentar
gak jelas menjadi pembuat solusi cetar (eaa,, maksa hahha) kalo kebayakan
komentar bisa bikin sakit hati orang, alhasil munculah aksi 212 yang membuat
iman bergetar.
0 komentar:
Posting Komentar