Namaku Ananda Suci Bastiani
Aku terpilih
untuk terlahir di dunia
Aku terpilih
dan menyanggupi untuk terlahir di dunia
Aku terpilih
untuk hidup dengan kekuatan cinta
Aku terpilih
untuk hidup dengan cinta pemberian bunda
Aku terpilih
untuk mencintai semua yang bunda cinta
Aku dicintai
oleh orang-orang yang mencintai bunda
Hingga aku bisa
hidup walaupun tanpa bunda
Ya,, ini yang aku rasakan untuk melihat seorang bayi yang
baru dilahirkan dua hari kematian ibunya. Bayi ini lahir pada pukul 14.30 WIB
berselang kurang lebih tiga jam kemudian ibunya meninggal in shaa Allah dengan
keadaan khusnul Khatimah (aamiin).
Aku berharap
bunda memelukku ketika aku masih berlumuran darah
Aku berharap
bunda sempat melihatku karena aku terlahir dengan sehat
Dan aku berharap
bunda menyempatkan untuk mendengar suara tangisanku saja
Aku pribadi sudah tidak kuat ketika melihat bayi mungil ini
berada dihadapan mamahku untuk kami bawa pulang kerumah.
“ya Allah,
semua ini sudah menjadi kuasamu, semua ini sudah menjadi kehendakmu, berikan
hidayah bagi keluarga kami demi mensolehah-kan putri kami”
Kalimat itu dilantunkan oleh mamahku ketika pertama kali
beliau berani untuk bertemu cucu ke-empatnya.
“ya Allah
ini adalah kebesaranmu”
Mamah meneteskan air matanya ketika mulai menopang bayi lucu
ini kepelukannya,
Sesampai di rumah kami ditunggu oleh sanak saudara yang
ingin melihat bayi malang ini. Semuanya menghempaskan tangisan, entah apa yang
difikirkan setiap kepala. Sunhanallah,
Walhamdulillah, Walaillahaillallah, Wallahuakbar. Setiap kepala tidak
henti-hentinya menyebutkan nama Allah ketika melihat bayi ini juga mengusapkan
kepalanya sembari melantunkan do’a.
Ketika moment itu aku malu untuk menangis, aku sangat merasa
malu. Karena yang seharusnya terjadi adalah do’a dan senyuman bukan do’a dan
tangisan. Budaya tegar sudah ada pada keluarga kami tapi, kondisi ini tidak
bisa dengan mudahnya diputar arahkan untuk kejadian yang seharusnya dibiasakan.
Teteh, ibu dari bayi itu telah meninggalkan kami untuk bertemu di Jannah-nya (aamiin).
Semenjak itu, aku takut sekali untuk meninggal keluarga. Selalu
ingin berada di dalam situasi apapun, dekat, membuat rasa aman, melindungi dan
rasa yang sangat luar biasa dalam menambah kecintaan ini. Karena ada sahabat
nabi yang mengatakan bahwa jika seorang anak melihat kedua orangtuanya dengan
pandangan cinta maka amalan yang dicatat Allah seperti orang yang naik Haji
Mabrur. Nah, jika setiap hari kita memandang orangtua kita 100x ? Nabi Saw menjawab:
Allah Maha Besar dan Maha Pengasih, hanya Allah yang bisa menghitungnya, kuat
dalam segala-galanya, kehendaknya dan iradat-Nya tak terbatas.
Semenjak tahu itu, aku tidak mau lagi jauh, ingin selalu
mengajaknya kemanapun aku mempunyai langkah. Takut, iya benar, merasa
kehilangan yang seperti ini sangat sekali menyulitkan.
“Uli pulang
kapan li?” pertanyaan itu selalu datang dan
selalu, pasti ada pada saat mendekati Ujian Akhir Semester.
“iya teh,
nanti kalo sudah ketahuan tanggalnya uli pesan tiket terus pulang deh”.
Tapi sekarang sudah tidak ada pertanyaan dan panggilan teteh
kepadanya.
“Uli lulus
2016 kan ya? Teteh bisa kan ngeliat Uli wisuda?”
“ya,
bisa teh, pokonya teteh dateng. Sekarang, siapin doanya dulu ya”
“Siap,
beres daahh..”
Itu adalah kalimat dalam BBM kita
berdua yang sangat aku ingat dan tidak kuat untuk dibahas secara langsung pada
siapapun selain dalam tulisan ini.
Semua pelajaran kehidupan darinya
sangat berarti sekali bagiku.
Teteh adalah wanita yang cerdas, sigap,
dan ulet. Tidak pernah mengeluh sama sekali hingga akhir nafasnya pun tidak
pernah menyulitkan kami.
Teteh hobinya menulis, dulu tulisannya
suka dimuat di majalah sekolahnya. Teteh juga seorang aktivis, banyak pelajaran
dan pengalamannya dibagikan untukku.
Aku ingat teteh memiliki buku harian. Aku
cari di lemari pakaianya dan menemukan buku itu. Buku yang aku temukan adalah
buku harian pada tahun 2009 dan itupun hanya sebagiannya. Aku berniat menemukan
buku hariannya ketika ia hamil anak ke-empatnya. Tapi hasilnya nihil, anak
pertamanya pun ikut mencarikan buku yang kita tuju. Sudah disetiap tempat yang
memungkinkan ditempatkan tidak membuahkan hasil. Akhirnya aku mencoba membaca
buku yang dituliskannya pada tahun 2009 dan aku tidak sanggup membacanya karena
dibuku itu bertuliskan semua rasa sayangnya kepada anaknya dan yang lebih
mencengangkan lagi adalah kalimat itu. Aku menangis tanpa suara, aku ingat
kejadian-kejadian dulu ketika kecil bermain bersamanya, aku diajak bernyanyi
bersama, aku diajak menari bersama, aku diajarkan menghafal surah-surah pendek
setelah selesai beribadah, aku ingat semuanya. Aku ingat ketika teteh
mengucapkan langsung kalimat itu “Uli
adalah sepupu teteh yang terbaik”. Menuliskan ini pun aku bercucuran air
mata.
Semuanya sudah berlalu, semuanya pasti
berlalu. Kesedihan dari keluargaku atas kehilangan orang yang selalu ceria ini
pasti disembuhkan oleh anak-anaknya yang pintar dan soleh-solehah (aamiin).
Dulu aku, atau mungkin banyak wanita
muda yang takut akan rasa sakit untuk -melahirkan anak. Karena rasa sakit untuk
melahirkan melebihi hingga 45 Del (maksimal manusia menanggung rasa sakit). Tetapi
yang dialami oleh ibu melahirkan adalah 57 Del setara dengan 20 tulang yang patah
secara bersamaan (tabloid-nakita.com).
Jadi dengan adaya kejadian ini, mata, hati, dan pikiran disekelilingku berubah
dengan mindset yang berbeda. Aku,
jika nanti diberikan kesempatan untuk mengandung dan melahirkan tidak lagi
menimbulkan rasa ketakutan mendalam, karena aku ingat perjuangan seorang
tetehku dalam melahirkan anaknya. Tetehku saja berani untuk melahirkan anaknya
hingga mempertaruhkan nyawanya. Bagaimna dengan kamu?
0 komentar:
Posting Komentar