“Aku seperti
tidak memiliki siapa-siapa, tapi dengan keberadaanku di sini diriku memiliki
jiwa.”
Rey seorang peranakan China Benteng yang sedang
berada di pemakaman Masjid Kali Pasir, Kota Tangerang. Disana terdapat 11 makam tertua
di mana tiga makam merupakan keturunan raja Padjajaran, sementara enam lainnya
merupakan keturunan raja Sumedang dari Pangeran Geusan Ulun. Ada juga juga
salah satu makam di sana merupakan makam Sultan Agung Tirtayasa yaitu Nyi Raden
Urianegara.
Ia terbiasa untuk berziarah ke sana semenjak ia
menjadi mu’alaf. Ia selalu bertekat untuk menjaga budaya keluarga yang notabene
berkulit sawo matang dan bermata sipit sebagai bagian dari peranakan Tionghoa
China Benteng.
“Hari ini ada
acara di Sungai Cisadane untuk lomba perahu naga bu,”
ijin Rey kepada ibunya.
“Baik hati-hati
ya nak.”
Ibu mengijinkan sambil melihat Rey yang sedang bersiap-siap memakai pakaian
adat berupa baju koko hitam dan celana panjang,
dengan topi yang khas yang mirip dengan caping. Sedangkankan adiknya sedang
memakai pakaian adat wanita yang dinamakan hwa kun, yang berupa blus dan
bawahan lengkap dengan hiasan kepala serta tirai penutup wajah. Kemudian ibunya
menggunakan kebaya encim khas Tionghoa, dengan aksen
kembang goyang sebagai hiasan kepala, yang menunjukkan pengaruh Betawi dalam
pakaian tersebut.
Sesampai di Sungai Cisadane sebagai pengairan
terbesar di Kota yang luasnya kurang lebih 184,24 KM2 ini, Rey
bertemu teman-teman kelompoknya yang juga menggunakan pakaian khas China
Benteng yang sebelumnya sebahyang di Boen Tek Bio sebagai kelenteng tertua di
Kota ini. Tradisi lomba perahu naga ini termasuk bagian dari perayaan Prh Cun,
yang merupakan salah satu tradisi tertua di Indonesia, karena sudah ada sejak
1910.
Waktu pertandingan telah dimulai, Rey dan timnya
mendayung perahu naga hingga menuju garis finish, dan keseruan penonton dalam
mendukung masing-masing tim sangat terasa dalam suasana sore hari di wilayah
pintu air 10 sebagai tempat bersejarah yang di lestarikan.
Rey dan teman-teman satu kelompok yang berjumlah 10
orang tersebut mendayung perahu naga berwarna coklat tua dengan semangat dan
penuh ambisi kemenangan. Hingga akhirnya sang penyentuh garis finish pertama berada
di tangan kelompok lain dengan nomor peserta 044, kemudian Rey beserta teman
kelompoknya berada di peringkat ke-dua.
Sorak penonton sangat gaung sekali dengan musik dan
boneka barongsai yang mengiringinya.
Rey disambut oleh Ibu dan adiknya, mereka melepas
bangga dengan memeluk Rey walau ia hanya juara kedua. Baju Rey basah kuyup akibat
tampias air dayung yang ia lakukan dengan teman-temannya. Lalu ia lepaskan
pakaian bagian atasnya untuk kegiatan keramas bersama di Sungai Cisadane.
Keramas di Sungai ini menjadi kegiatan rutin pula
pada setiap tahunnya yang dilakukan oleh warga kampung Babakan. Mereka melakukan
untuk menjaga kebudayaan untuk menyambut bulan suci Ramadhan untuk warga
muslim.
Petang muncul dengan penumbra yang menjadi
cirikhasnya. Semua kegiatan berhenti untuk memenuhi panggilanNya. Rey, Ibu, dan
adiknya kembali ke rumah untuk membersihkan kotoran yang melekat di tubuhnya
serta melanjutkan untuk kegiatan tarawih bersama di Masjid bersejarah Kali
Pasir Kota Tangerang.
#30DWCJilid6 #Squad6 #day29
0 komentar:
Posting Komentar